Glitter Photos

Selasa, 16 Desember 2008

Krisis Global Belum Pengaruhi Kalbar

*Pertumbuhan Ekonomi Triwulan Ketiga 4,23 Persen
Pengaruh krisis ekonomi global sepertinya masih belum begitu terasa di Kalimantan Barat. Hal tersebut ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Kalbar pada triwulan ke tiga (Quarter to Quarter) sebesar 4,23 persen, dibanding dengan triwulan ke dua sebesar – 4,79 persen dan triwulan pertama sebesar 0,34 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat, Nyoto Widodo mengatakan hal tersebut disebabkan tiga factor. Yakni pertumbuhan ekonomi Kalbar ditentukan oleh sector pertanian. Tidak hanya perkebunan, tapi ditunjang juga dengan pertanian tanaman pangan yang cukup baik. Terutama padi.
Factor kedua yang menunjang tingkat pertumbuhan ekonomi di Kalbar adalah sector perdagangan. Nyoto menyatakan Kalbar terutama Pontianak merupakan lokasi strategis jalur luar negeri. Sehingga, lalu lintas perdagangan masih cukup banyak.
Selain itu Nyoto menambahkan yang berperan besar dalam meningkatnya pertumbuhan ekonomi Kalbar triwulan ketiga ini adalah tingkat belanja pemerintah (Government Spending).
“Menjelang akhir tahun Pemerintah banyak melakukan belanja pembangunan. Dengan banyaknya pembangunan dilakukan otomatis menyerap tenaga kerja, menggairahkan usaha. Sehingga sangat menolong tingkat perekonomian,” kata Nyoto di ruang kerjanya, kamis (4/12).
Nyoto memprediksi pertumbuhan ekonomi Kalbar triwulan keempat tidak setinggi pada triwulan ketiga. Namun, dia menambahkan Government Spending akan dapat menolong tingkat pertumbuhan ekonomi Kalbar di akhir tahun 2008.
Lebih jauh Nyoto menyatakan, dampak krisi ekonomi global baru dapat dinilai pada pada triwulan keempat untuk pertumbuhan ekonomi bulan Oktober-November-Desember 2008. Hal ini menurut Nyoto terlihat dari menurunnya tingkat eksport import, menurunnya nilai tukar petani serta perkembangan pariwisata Kalbar pada bulan November 2008.
“Tingkat pertumbuhan ekonomi Kalbar triwulan keempat ini baru dapat dilihat pada pertengahan Januari 2009,” kata Nyoto.
Sedangkan untuk tingkat pertumbuhan ekonomi Kalbar tahun 2009, Nyoto yang baru menjabat sebagai kepala BPS Kalbar selama dua tahun terakhir ini menyatakan tidak berani berandai-andai.
Namun, Dia memperkirakan adanya even Politik Pemilu legislative dan Presiden 2009 dapat menjadi insentif bagi pertumbuhan ekonomi. Dia memperkirakan menjelang pemilu 2009 belanja masyarakat ( Mass Spending) akan meningkat, gairah usaha juga meningkat. Dengan demikian dapat memacu peningkatan pertumbuhan ekonomi.
“Itu jika Pemilu berjalan lancar. Jika tidak, maka akan jadi disinsentif bagi pertumbuhan ekonomi,” terangnya.




Perda Penyertaan Modal Pemkot Pontianak Disahkan

Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penyertaan Modal Pemerintah Kota Pontianak Pada PT. Bank Kalbar dalam Rangka Penjaminan Kredit Daerah disahkan dalam Rapat Paripurna masa persidangan ketiga DPRD Kota Pontianak, Selasa (2/12).
Pengesahan itu dilaksanakan setelah tujuh Fraksi DPRD Kota Pontianak memberikan pendapat akhirnya dan menyatakan menerima Raperda tersebut disahkan menjadi Perda.
Namun, Rata-rata Fraksi memberikan penekanan dalam beberapa hal.
Seperti yang disampaikan anggota Fraksi Golkar DPRD Kota Pontianak, Budi Sayogyo saat membacakan pendapat akhir. Fraksinya menyatakan dengan adanya penyertaan modal pemerintah pada Bank Kalbar untuk UKM ini diharapkan dapat memfasilitasi terjadinya peningkatan produktivitas masyarakat dalam bentuk usaha mandiri berskala kecil hingga menengah.
Namun, Golkar meminta kepada Pemkot dapat merumuskan dan melaksanakan pola kerjasama yang baik dan transparan dengan prosedur operasi baku dalam pengelolaan penyertaan modal ini.
Golkar berharap setiap pemohon dapat diproses sesuai prosedur. Proses mudah dan tidak berbelit. Serta pemerintah dapat menjamin aspek akuntabilitas, bebas Kolusi Korupsi dan Nepotisme (KKN).
“Dengan demikian kita yakin harapan meningkatkan prouktivitas masyarakat secara gradual dapat tercapai,” kata Budi lagi.
Budi menambahkan kendala utama berkembangnya UKM adalah akses permodalan. Karena UKM rata-rata tidak memiliki angunan kredit. Sehingga dengan adanya penyertaan modal pada Bank Kalbar ini dapat menjadi solusi atas persoalan tersebut.
Sama halnya yang disampaikan Fraksi Golkar, Fraksi PDIP yang didaulat membacakan pandangan akhirnya pada urutan kedua ini menyatakan menerima Raperda menjadi Perda. Namun, PDIP memberikan empat buah catatan dalam pelaksanaan Perda tersebut.
“Yakni Pemerintah Kota harus punya data based Usaha Kecil Mandiri (UKM) di Kota Pontianak, memberikan pelatihan, penyuluhan dan peningkatan pengetahuan menejemen kepada pelaku usaha kecil ini. Menekankan pada pengawasan pemerintah dalam memberikan bantuan kepada UKM. Serta meminta pemerintah membuat kualifikasi atau batasan UKM apa saja yang dapat menerima bantuan modal ini,” kata Sekretaris Fraksi PDIP, Syekh Ribut, yang membacakan pandangan akhir fraksi PDIP Perjuangan.
Empat poin ini ditekankan PDIP agar dalam penyelenggaraan bantuan penyertaan modal Pemerintah tepat sasaran.”Dan yang pasti agar tidak disalahgunakan,” katanya.
Zainil, mewakili Partai Demokrat juga menyatakan hal yang sama yakni meminta memberikan spesifikasi serta batasan Usaha Mikro Kecil Menengah (UKMK) yang mendapatkan bantuan. Serta meminta Pemerintah memberikan kepastian bahwa yang diberikan bantuana adalah benar-benar warga Kota Pontianak.
Pandangan akhir Fraksi PKB, dibacakan Wahab Bulayan meminta Pemerintah konsiten mengevaluasi secara terus menerus UKM yang telah dan belum diberikan bantuan modal. Hal ini dilakukan agar UKM lebih kompetitif. PKB juga meminta agar Pemkot membuat perangkat daerah atau tim kerja lintas sektoral bekerjasama dalam mengawasi pelaksanaan ini.
Dalam Raperda yang disahkan menjadi Perda ini, modal pemerintah yang disertakan sebesar Rp 1 Milyar. Bank Kalbar dan Askrindo ditunjuk Pemerintah Kota Pontianak untuk mengelola dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Pontianak tahun 2009.









*KPU Keluarkan Jadwal Kampanye Parpol

Sejak 1 Desember 2008, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kalbar menetapkan sebagai hari pertama kempanye pertemuan terbatas dan tatap muka partai politik untuk pemilihan umum (pemilu) 2009 mendatang.
Ketua Pokja kampanye pemilu KPU Provinsi Kalbar, Sofiati di Pontianak beberapa waktu lalu mengatakan jadwal kampanye tersebut telah ditetapkan. “Kini jadwal tersebut tengah disosialisasikan ke masing-masing parpol sesuai tingkatannya,” jelasnya.
Lebih lanjut Sofi menjelaskan dalam kampanye pertemuan terbatas dan tatap muka, masing-masing parpol akan berada di setiap daerah pemilihan (Dapil) sepanjang masa kampanye. “Kampanye sendiri akan dimulai pada 1 Desember 2008 hingga 14 Maret 2009,” ujarnya.
Setiap parpol akan berada di setiap Dapil selama lima hari setelah itu dilakukan rolling atau pergantian partai sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
Sebanyak 38 parpol akan melakukan kampanye di delapan Dapil tersebar di 14 kabupaten/kota di Kalimantan Barat. Yakni Dapil Kalbar 1 (Kota Pontianak, Dapil Kalbar 2 (Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya), Dapil Kalbar 3 (Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang).
Selanjutnya Dapil Kalbar 4 (Sambas), Dapil Kalbar 6 (Sanggau dan Sekadau), Dapil Kalbar 7 (Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu) sedangkan Dapil 8 (Ketapang dan Kayong Utara).
Dalam kampanye pertemuan terbatas dan tatap muka tersebut diatur jumlah peserta yang menghadirinya. Untuk tingkat Provinsi dibatasi maksimal hanya 500 orang. Sedangkan kabupaten/kota dibatasi sebanyak 250 orang peserta saja.
Sementara kampanye DPD harus mendapatkan ijin dari pihak Kepolisian. Dalam hal ini yang menangani pemberian ijin adalah Kapolda Kalbar. Sedangkan untuk tempat pelaksanaan pertemuan dan tatap muka Sofi menuturkan akan diatur masing-masing pemerintah daerah.
“KPU terus berkoordinasi dengan pihak Kepolisian dan Pemda agar dapat memfasilitasi pelaksanaan kampanye ini,” kata Sofi yang juga doktor bidang pendidikan.

*40 Persen Odha Orang Muda

Kepemimpinan erat kaitannya dengan kaum muda. Pemuda menjadi pemimpin perubahan dan akan menjadi pemimpin Negara kelak. Komisi Penanggualana AIDS Indonesia (KPAI) Kota Pontianak menangkap isu kepemimpinan itu dengan cara memberdayakan generasi muda, khusunya remaja dalam mencegah atau menanggulangi penyebaran AIDS di Kota Pontianak
Koordinator Program Officer KPA Kota Pontianak, SS. Novianti yang ditemui Senin (1/12) siang mengatakan sejak dua tahun lalu KPAI Kota Pontianak telah memberdayakan remaja sebagai youth leader.
“Pelibatan kaum muda sangat penting dalam upaya pencegahan HIV/AIDS maupun advokasi. Untuk itu sejak tahun 2006 KPA Kota Pontianak telah melibatkan remaja,” kata Novi.
Menurut Novi, perempuan berkerudung ini, remaja memiliki potensi besar dalam menanggulangi HIV/AIDS. Karena remaja memiliki ide program kreatif dan segar.
“Mereka melihat satu isu tidak hanya dari satu sudut pandang saja, dari segala sisi mereka lihat. Selain itu mereka juga tidak pamrih. Jika diberi kepercayaan mereka lebih tanggungjawab dan akuntabel,” jelas Novi lagi.
Di Kota Pontianak pengidap HIV sebanyak 725 orang. Sedangkan untuk AIDS sebanyak 536 orang. Mayoritas yang mengidap HIV/Aids tersebut dari kalangan remaja. Sehingga pelibatan remaja dalam menanggulangi penyebaran maupun pencegahan menjadi sangat penting.
“Karena mereka sebaya, sehingga mudah masuk dan menjangkau komunitas-komunitas remaja tersebut,” ujar Novi, yang tlah 6 tahun bergabung di KPAI.
Selain itu, KPAI Kota Pontianak juga memberdayakan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai staf lapangan. Saat ini sebanyak lima orang ODHA menjadi staf lapangan pada KPAI Kota Pontianak.
“Bahkan mereka dilibatkan dalam kelompok kerja. Tugasnya memberikan pemahaman, informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS kepada lingkungan sekitarnya,” Novi menambahkan.
Pelibatan ODHA dalam KPAI menurut Novi juga dalam rangka merubah stigma masyarakat, yang menganggap ODHA tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini, Novi menambahkan stigma negative terhadap ODHA sudah mulai berkurang. “Bahkan petugas medis di rumah sakit sudah mulai mengayomi ODHA,” imbuhnya.
Sementara itu di tempat berbeda Ketua KPAI Kota Pontianak, Toni Haryanto mengatakan HIV/AIDS tidak dapat ditekan jika tidak ada kerjasama masyarakat.
“KPA tidak bisa berbuat apa-apa kalau masyarakat tidak juga tidak merespon bagaimana usaha-usaha yang dilakukan oleh KPA,” kata Toni Haryanto yang juga menjabat Sekretaris Daerah Kota Pontianak ini.
Sabtu (29/11) lalu, KPAI Kota Pontianak bekerjasama dengan komintas sepeda motor menyelenggarakan kegiatan. Berupa membagi-bagikan selebaran-selebaran dan mengadakan talkshow. Mengambil tema hari AIDS sedunia yaitu kepemimpinan.
Dengan tema ini KPAI melibatkan kaum muda. Dilibatkannya kaum pemuda dalam hal ini dikarenakan penderita HIV/AIDS erbesar jumlahnya berasal dari kaum muda, mencapai sekitar 40 persen.
“Sehingga dengan kebersamaan ini kita mencoba untuk bersama-sama untuk menanggulangi persoalan HIV/AIDS,” ujar Toni.

Selain itu, tak luput pula peran pemerintah. Baik itu Dinas Pendidikan, Dinas Agama, Dinas Kesehatan, dan masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang berbeda.
“Seperti dari dinas kesehatan, kita sekarang sedang melaksanakan teknis pengobatan. tak hanya itu ada program kelengkapan sarana seeprti halnya VCT, yang ada di puskesmas-puskesmas dan rumah sakit. sehingga bagi masyarakat yang hendak memeriksakan dirinya bisa dilakukan di puskesmas dan rumah sakit yang ada VCT nya,” saran Toni.

31.098 Laporan Korupsi Masuk KPK, 468 dari Kalbar

Sejak berdiri pada tahun 2003, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima 1,5 persen laporan masyarakat Kalimantan Barat terkait korupsi. Dari 31.098 pengaduan yang masuk, 468 diantaranya berasal dari Kalimantan Barat.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK, M. Jasin di Pontianak saat menjadi keynotespeaker dalam acara workshop meningkatakan kapasitas peran dan fungsi DPRD Kota Pontianak, Senin (15/12).
“Dari sejak berdiri KPK telah menerima 31.098 laporan dari masyarakat, 468 laporan diantaranya berasal dari Kalbar,” ujar Jasin.
Dari jumlah 468 tersebut semuanya berasal dari masyarakat. Posisi Kalbar berada di bawah Kalsel dengan laporan kasus sebanyak 554. Namun, Jasin tidak dapat merinci laporan tersebut berasal dari mana dan tentang kasus apa saja.
“Saya tidak bawa breakdown datanya,” kilah Jasin.
Namun, Jasin mengatakan biasanya tipikal kasus korupsi di daerah berupa penyimpangan APBD, penyimpangan saat pengadaan barang dan jasa, surat perintah perjalanan dinas (SPPD), bantuan sosial hingga marketing fee.
Dari laporan yang disampaikan tidak semuanya ditangani KPK. Karena KPK memiliki mitra penegak hukum di daerah, maka kasus tersebut dilimpahkan ke aparat hukum daerah menindaklanjutinya.
“Ada kegiatan supervisi, dimana aparat penegak hukum memaparkan seluruh kasus-kasus di daerah. Jika dinilai strategis maka akan ditangani KPK langsung,” kata Jasin.
Jika masih dapat diselesaikan aparat penegak hukum daerah maka diserahkan ke daerah untuk menyelesaikannya. Dari hasil laporan perkembangan kasus daerah akan dipantau KPK secara periodik.
“Kasus-kasus yang masuk tidak dibiarkan begitu saja. Akan di pantau secara periodik kurang lebih tiga bulan sekali,” terangnya.

Senin, 15 Desember 2008

Wanita Rentan Osteoporosis

Penyakit Osteoporosis atau rapuhnya tulang hingga mudah patah akibat berkurangnya kepadatan, banyak terjadi pada wanita. Pernyataan tersebut disampaikan Sekretaris Umum (Sekum) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kalimantan Barat, Nursyam Ibrahim di Pontianak.

“Hilangnya hormon estrogen setelah wanita mengalami menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis," jelasNursyam.

Penyakit osteoporosis adalah berkurangnya kepadatan tulang, akibatnya tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Ini terjadi jika tubuh tidak mampu mengatur kandungan mineral dalam tulang.

Gejala osteoporosis tidak dapat dapat dideteksi secara dini. Gejalanya baru muncul pada usia 50 tahun. Pada pria diusia 30 - 40 tahun, proses pembentukan tulang mengalami penurunan. Sedangkan pada wanita gejala akan muncul setelah mengalami menopause.

Pada usia pertumbuhan menurut Nursyam, manusia membutuhkan 1.000 - 1.500 miligram kalsium setiap hari. Untuk orang berusia tua dan wanita, kebutuhan kalsium seribu milligram.

Masyarakat dapat memenuhi sumber dari makanan alternative seperti ikan teri atau ikan kering. Satu ons ikan teri menurut Nursyam mengandung sekitar 1.500 sampai 2.000 miligram kalsium.

Selain itu dia menyarankan meminum susu yang mengandung kalsium. Serta harus diimbangi dengan olahraga teratur dan penyinaran matahari pagi.

"Olahraga minimal dilakukan selama setengah jam dalam satu minggu tiga kali, ini untuk meningkatkan penyerapan kalsium oleh tulang," lanjut Nursyam lagi.

Indonesia beruntung memiliki iklim tropis karena yang selalu mendapat sinar matahari sepanjang tahun. Namun sangat disayangkan satu dari empat orang di Indonesia dinyatakan terkena osteoporosis atau kerapuhan tulang.


”Hal ini akibat pola hidup masyarakat masih belum mempedulikan pentingnya menjaga kesehatan tubuh,” kata Nursyam.

Minggu, 14 Desember 2008

Libatkan Remaja dan ODHA Tanggulangi HIV/AIDS

Koordinator Program Officer Komisi Penanggulangan Aids Kota Pontianak, SS. Novianti yang ditemui Senin (1/12) siang mengatakan sejak dua tahun lalu KPAI Kota Pontianak telah memberdayakan remaja sebagai youth leader menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Pontianak.

“Pelibatan kaum muda sangat penting dalam upaya pencegahan HIV/AIDS maupun advokasi. Untuk itu sejak tahun 2006 KPA Kota Pontianak telah melibatkan remaja,” kata Novi.

Peringatan hari AIDS sedunia jatuh setiap tanggal 1 Desember. Tahun 2008 ini tema yang diangkat adalah kepemimpinan.

Komisi Penanggualana Aids Indonesia Kota Pontianak menangkap isu kepemimpinan itu dengan cara memberdayakan generasi muda, khusunya remaja dalam mencegah atau menanggulangi penyebaran Aids di Kota Pontianak

“Kepemimpinan erat kaitannya dengan kaum muda. Karena pemudalah yang menjadi pemimpin perubahan dan kedepan dapat menjadi pemimpin Negara ini. Untuk itu kita perlu pemuda yang cerdas kreatif dan sehat,” ujar Novi.

Menurut Novi, perempuan berkerudung ini, remaja memiliki potensi besar dalam menanggulangi HIV/AIDS. Karena remaja memiliki ide program kreatif dan segar.

“Mereka melihat satu isu tidak hanya dari satu sudut pandang saja, dari segala sisi mereka lihat. Selain itu mereka juga tidak pamrih. Jika diberi kepercayaan mereka lebih tanggungjawab dan akuntabel,” jelas Novi lagi.

Di Kota Pontianak pengidap HIV sebanyak 725 orang. Sedangkan untuk AIDS sebanyak 536 orang. Mayoritas yang mengidap HIV/Aids tersebut dari kalangan remaja. Sehingga pelibatan remaja dalam menanggulangi penyebaran maupun pencegahan menjadi sangat penting.

“Karena mereka sebaya, sehingga mudah masuk dan menjangkau komunitas-komunitas remaja tersebut,” ujar Novi, yang telah 6 tahun bergabung di KPAI.

Selain itu, KPAI Kota Pontianak juga memberdayakan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) sebagai staf lapangan. Saat ini sebanyak lima orang ODHA menjadi staf lapangan pada KPAI Kota Pontianak.

“Bahkan mereka dilibatkan dalam kelompok kerja. Tugasnya memberikan pemahaman, informasi dan pengetahuan tentang HIV/AIDS kepada lingkungan sekitarnya,” Novi menambahkan.

Pelibatan ODHA dalam KPAI menurut Novi juga dalam rangka merubah stigma masyarakat, yang menganggap ODHA tidak bisa berbuat apa-apa. Saat ini, Novi menambahkan stigma negative terhadap ODHA sudah mulai berkurang.

“Bahkan petugas medis di rumah sakit sudah mulai mengayomi ODHA,” imbuhnya.

Hari Ibu Kota Pontianak Dipercepat

Hari Ibu seyogyanya diperingati setiap tahun pada 22 Desember. Untuk tahun 2008 ini Pemerintah Kota Pontianak akan mepercepat pelaksanaannya. Puncak peringatan Hari Ibu ke-80 Kota Pontianak akan digelar Rabu (10/12).

Menurut Kepala Bidang Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan Kota Pontianak, Herawati yang bertindak sebagai bendahara kegiatan percepatan kegiatan ini dilakukan karena pada tanggal 22 Desember 2008 bertepatan dengan pelaksanaan pelantikan dan serah terima jabatan Walikota Pontianak periode 2008-20013.

“Karena Peringatan Hari Ibu tanggal 22 bertepatan dengan pergantian Walikota Pontianak, sebab itulah pelaksanaannya dimajukan pada tanggal 10 Desember 2008,” jelas Hera.

Kepanitiaan peringatan Hari Ibu Kota Pontianak telah dibentuk dan ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) Walikota Pontianak Nomor 595 Tahun 2008. Susunan panitia terdiri dari instansi terkait serta melibatkan beberapa organisasi kewanitaan.

Guna mempersiapkan peringatan tersebut panitia yang diketuai Yuartini Toni Herianto melakukan rapat persiapan Kamis (4/12) di Aula Rumah Jabatan Walikota Pontianak. Rapat ini bertujuan untuk mempersiapkan acara puncak.

Menurut Ketua Panitia Pelaksana, Yuwartini Toni Herianto. peringatan Hari Ibu yang ke-80 ini akan diselenggarakan secara sederhana.

“Namun khidmat, tertib dan penuh makna,” ujarnya.

Ketua Panitia juga mengharapkan panitia yang telah dibentuk ini agar melaksanakan tugasnya dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab.

Rapat tersebut membahas persiapan serta pelaksanaan teknis. Bersama instansi terkait serta anggota panitia yang dilibatkan dalam kegiatan ini. Acara puncak Peringatan Hari Ibu ini akan digelar di rumah jabatan Walikota Pontianak.

Peringati Hari Aids Mahasiswa Polnep Turun Kejalan

Sebanyak 29 orang mahasiswa Politeknik Negeri Pontianak (Polnep) turun kejalan menggelar aksi simpatik membagikan leaflet dalam rangka memperingati hari AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) sedunia yang diperingati setiap tangal 1 Desember.

Ketua Himpunan Mahasiswa Peduli AIDS (Hampa) Polnep , Aisyah didampingi dosen pembimbing Vivaldi mengatakan kegiatan ini dilakukan memberikan informasi kepada masyarakat Kota Pontianak tentang bahaya Aids serta cara penanggulanggannya.

“Kita harapkan dengan adanya pembagian selebaran ke masyarakat, mereka lebih peduli dengan bahaya Aids serta dapat mencegah penularan penyakit ini,” kata Vivaldi yang ditemu usai melakukan pembagian selebaran di depan Hotel garuda Pontianak, Senin(1/12).

Dalam aksi simpati itu dilakukan pembagian selebaran berisi informasi AIDS dan cara pencegahannya. Pembagian leaflet dilakukan di lima simpang lampu merah di Kota Pontianak. Yakni simpang lampu merah A. Yani, Bundaran Untan, perempatan Lampu Merah Gajah Mada, Lampu Merah Tanjungpura, dan Perempatan Lampu Merah A. Yani II.

Kegiatan yang didukung sepenuhnya oleh Politeknik ini juga mendapatkan dukungan dari Dinas Kesehatan Kalbar dan Komisi Penanggulangan Aids Daerah Kalbar. Sebanyak 29 Orang mahasiswa jurusan Akuntansi semester tiga Polpep, melakukan pembagain selebaran. Dimulai pukul 08.00 Wib hingga Pukul 10.00 Wib.

Selain ke masyarakat kegiatan ini juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada mahasiswa Polnep sendiri akan penyakit yang yang banyak menjangkita kaum muda di Pontianak ini. Di Kota Pontianak sendiri sebanyak 725 orang mengidap HIV dan AIDS sebanyak 536 orang. 40 persen diantaranya adalah remaja.

Sebelumnya, pada hari minggu (29/11) Hampa juga melakukan seminar Aids mengambil tema Perbaikan Generasi Muda, Stop Aids; Anak Muda Gak Mesti Ngesek Dan Ngedrug. Kegiatan ini menghadirkan pelajar SMA se Kota Pontianak, Mahasiswa Perguruan Tinggi di Pontianak serta mahasiswa baru Politeknik.

Ketua Hampa, Aisyah mengatakan selama ini penularan HIV/Aids sering terjadi di kalangan remaja dengan cara sek bebas serta melalui jarum suntik narkoba. Untuk itu mereka melaksanakan kegaiatan seminar tersebut agar pelajar dan mahasiswa dapat menghindari seks bebas dan penggunaan narkoba yang notabenenya dapat menyebabkan terjangkiti HIV/Aids.

Sabtu, 13 Desember 2008

Patung; Antara Tradisi dan Karya Seni

Pernah berkunjung ke Rumah Betang, rumah adat Dayak terletak di Jalan Sutoyo Pontianak? Jika belum anda wajib mengunjunginya. Karena di sana anda akan menjumpai arsitektur, ornament, lukisan serta hasil karya seni lainnya, luar biasa indah.

Jika sudah, apakah anda pernah melihat pojok kanan depan rumah adat tersebut berdiri tegak sebuah patung manusia. Dinaungi pendopo kecil berukuran 1,5 m x 1,5 m. Ukurannya kurang lebih 50-75 cm. terbuat dari kayu, berbentuk manusia membawa tombak dan tameng, juga terbuat dari kayu.

Walau berukuran kecil, patung itu menunjukkan seorang laki-laki gagah perkasa. Mirip seorang kesatria. Patung tersebut asli karya perupa Kalimantan Barat. Patung serupa itu dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut pantak.

Seorang perupa patung di rumah adat Dayak, Mat Darem mengatakan pantak merupakan istilah dari bahasa Dayak kanayatn. Pantak dibuat untuk mengenang tokoh, orang yang memiliki gelar atau pangkat serta orang yang berpengaruh di lingkungan masyarakat tersebut.

“Orang biasa tidak bisa dibuatkan pantak,” kata Darem, lelaki berasal dari Dayak Kanayatn ini.
Dalam tradisi Dayak Kanayatn mengenal dua istilah patung, pantak dan ampago’. Pantak bentuk patungnya berdiri, sedangkan ampago’ patung berbentuk manusia dengan posisi duduk.
Masyarakat Dayak tempo dulu memiliki kebiasaan dan tradisi untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak adalah patung kayu berbentuk manusia, wajahnya mirip dengan wajah tokoh dimaksud dengan posisi berdiri.

Pantak diletakkan pada tempat tertentu yang disebut dengan panyugu, padagi atau kadiaman. Walau dalam menentukan tempat peletakan pantak ini bebas, namun biasanya masyarakat Dayak Kanayatn menentukannya dengan menggunakan perasaan.

“Kalau perasaan di tempat itu enak atau baik, maka pantak diletakkan di situ,” ujar Darem, yang telah menekuni seni patung sejak tahun 1989.

Menurut Darem pantak dibuat hanya untuk mengenang tokoh atau orang yang memiliki pengaruh disuatu daerah. Agar jasa dan ketokohannya dapat ditiru masyarakat. Pantak ini juga dapat dijadikan jembatan menyampaikan doa dan harapan kepada sang pencipta.

“Tapi bukan berarti kita menganggap itu sebagai Tuhan. Hanya sebagai pentara harapan dan doa yang kita sampaikan kepada sang pencipta,” Darem mencoba menegaskan.

Sedangkan ampago’ adalah patung menyerupai manusia dengan posisi duduk. Patung ini bukan penggambaran tokoh atau orang terkemuka di suatu kampung/desa. Bukan juga patung pemujaan. Namun dipercayai dapat menjaga masyarakat dari gangguan kejahatan.

Lokasi peletakan ampago’ di batas kampung atau pada ujung jalan desa. Atau bagi yang mempercayainya diletakkan di dalam rumah dan lumbung padi. Tempat meletakkan ampago’ disebut pantulak. Artinya menolak niat jahat atau roh jahat.

Dengan meletakkan ampago’, masyarakat adat kanayatn mempercayai dapat mengusir atau menolak orang berniat jahat ataupun roh-roh jahat yang akan mengancam kampung. Meletakkannya pun harus dengan ritual khusus.

Menurut Darem orang dahulu yang mempercayai kekuatan ampago’ biasa meletakkannya di depan pintu rumah. Biasanya jika sudah ada ampago’ mereka meninggalkan rumah tanpa menguncinya.

“Karena mempercayai ampago’ dapat menolak segala kejahatan. Itu orang dulu sekarang tidak lagi,” ungkap Darem.

Untuk membuat kedua patung tersebut Darem tak menggunakan ritual khusus. Hanya mengandalkan kemampuannya yang dipelajari turun temurun dari sang ayah.

“Namun yang harus dimiliki adalah kesabaran dan rasa seni,” ucapnya.

Seiring waktu patung ini mulai sulit dijumpai. Terlebih masyarakat mulai meninggalkan tradisi dan budaya leluhurnya. Bahkan, Darem hanya sesekali menerima pesanan pembuatan pantak dan ampago’.

Pasar sekarang condong menggemari patung-patung dari Dayak Bahau, ketimbang patung dari Dayak Kanayant. Menurut Darem, patung Dayak Bahau digemari karena keunikannya. Bentuknya abstrak, ornament detil terlihat pada kaki dan telinga. Sedangkan patung Dayak Kanayatn berbentuk asli atau realis.

“Bentuknya yang unik membuat pasar lebih menginginkan patung-patung Dayak Bahau,” terangnya.

Membuat patung Dayak Bahau, Darem menirunya dari catalog. Diminta menjelaskan makna filosofis dari patung yang dibuatnya, Darem tak berani. Karena menurutnya, budaya atau tradisi harus pasti. Tak boleh dikarang-karang.

“Kalau patung Dayak Kanayatn saya bisa jelaskan, karena saya berasal dari Dayak Kanayatn. Saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya sampaikan. Tapi kalau patung Dayak Bahau, saya tak berani,” kata Darem.

Terlepas dari apa yang melatar belakangi pembuatannya dan siapa membuatnya. Namun yang pasti patung adalah sebuah hasil karya seni, memiliki estetika tinggi. Dapat dinikmati siapa saja, yang menghargai sebuah usaha dan mencintai cipta karya penuh keindahan.

Kamis, 11 Desember 2008

Ada yang Salah dengan Profesiku?

beberapa waktu lalu, seorang rekan berprofesi sama denganku bertanya.
"aktifis, kenapa jadi wartawan?" katanya suatu hari. saat itu aku baru terjun menjadi reporter disalah satu harian lokal kalbar.
pernyaannya itu ku jawab dengan senyuman sembari berlalu..dan aku melupakannya.
hingga akhirnya, kemarin (10/12)saat meliput aksi demonstrasi di depan kampusku, aku tersentak..pertanyaan hampir sama itu kembali menggedor kesadaranku.
"kok pilih jadi wartawan sih, kan aktifis?" tanya yang sama dari orang berbeda masih berprofesi sama , ketika dia sadar bahwa diriku sering melakukan hal yang sama dengan apa yang kami liput siang itu.
pertanyaan itu tak ku biarkan berlalu begitu saja seiring senyumku mengembang. dengan sigap ku jawab.
"ada yang salah dengan profesi wartawan? "
-----------------------------------------------------------------
"ada yang salah dengan profesi wartawan?"
malam ini pertanyaan itu kembali menggedor-gedor otakku. memaksa, menarikku berfikir kembali keputusanku menjadi seorang jurnalis.
namun, dengan tegas aku katankan. menjadi jurnalis pilihan sadarku, hobby sekaligus obsesi. aku sangat menghargai profesiku.
aku hanya ingin dengan penaku, dapat suarakan teriakan mereka yang kelaparan. mereka yang dipasung kebebasannya. mereka yang tak pernah dihargai haknya. mereka yang dirampas tanahnya. mereka yang tak beruntung di negeri kaya ini.

Minggu, 07 Desember 2008

Kuota 30 Persen Perempuan Sulit Terpenuhi

Sekretaris Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Shelly Adelina, di Pontianak Sabtu (6/12) mengatakan kuota tiga puluh persen keterwakilan perempuan di legislatif sulit untuk dipenuhi pada pemilu 2009 mendatang.

Hal tersebut menurut Selly dikarenakan perempuan yang diusung oleh partai hampir rata-rata tidak memiliki kompetensi baik dan bukan figure dikenal masyarakat.

“Partai Politik merekrut perempuan menjadi calon anggota legislative belum melihat berdasarkan kemampuan. Namun, lebih pada persoalan memenuhi amanah UU yang mewajibkan partai mengakomodir keterwakilan 30 persen perempuan,” jelasnya usai menjadi pembicara dalam acara Capacity Building bagi Lembaga Masyarakat Melalui Sosialisasi UU Politik dalam Rangka Penguatan Jaringan Kelembagaan, diselenggarakan Badan Pemuda Olahraga dan Pemberdayaan Perempuan (Bapora PP) Kalimantan Barat.

Selly menilai saat ini Parpol hanya mampu merekrut kader wanita untuk menjadi calon legislatif saja. Tanpa ada program pemberdayaan dan peningkatan kualitas kader perempuan di Partai. Akibatnya hampir semua partai, tidak memiliki kader perempuan yang berkualitas dan dapat menjadi figure di masyarakat.

“Sehingga para pemilih enggan memilih calon legislatif dari perempuan,” lanjutnya.

Kurangnya keterwakilan perempuan dalam parlemen nanti menurut Selly, perempuan yang ditempatkan dalam Daftar Calon Tetap tidak pada nomor jadi.

“Mereka (Perempuan, red) ditempatkan hanya pada nomor-nomor kelipatan tiga. Kalau tidak tiga, enam, sembilan dan seterusnya,” ungkap Selly.

Hasilnya sudah dapat dipastikan keterwakilan perempuan di legislatif hasil pemilu 2009 tidak akan maksimal. Bahkan Selly memperhitungkan keterwakilan perempuan pada pemilu 2009 mendatang tidak lebih dari 15 persen.

Kalaupun ada parpol yang mencalonkan perempuan dalam DCT pada nomor urut jadi atau lebih dari 30 persen merupakan partai baru atau partai kecil. Berlakunya parliamentary threshold (PT) 2,5 persen di UU Pemilu 2009 nanti juga akan berpengaruh terhadap keterwakilan perempuan DPR RI.

“Parpol kecil gagal memenuhi syarat parliamentary threshold (PT) 2,5 persen tidak akan mendapatkan kursi di DPR RI. Sehingga perempuan yang menjadi bagian di dalamnya juga kehilangan peluang,” kata Selly, yang juga pengarang buku Perempuan ayo berpolitik, jadilah pemimpin : sebuah cerita ini.

Selly menambahkan peluang lebih besar ada pada Caleg perempuan yang dicalonkan parpol besar dan menengah. Namun, perempuan dalam parpol besar harus bersaing ketat dengan laki-laki dalam penempatan nomor jadi.

“Sehingga hanya segelintir saja perempuan yang menempati nomor urut jadi, dan dipastikan terpilih dalam pemilu 2009 nanti,” imbuhnya.

Segelintir harapan bagi caleg perempuan di DPRD tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sebab parliamentary threshold (PT) 2,5 persen tidak berlaku untuk DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

“Kemungkinan besar peluang caleg perempuan untuk jadi hanya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Jumlahnya juga pasti tidak besar. Tapi kita berharap ada perwakilan perempuan dalam setiap DPRD semua tingkatan tersebut,” harapnya.

Dari hasil pemilu 2004 keterwakilan perempuan seluruh Nasional sebagai anggota DPR RI hanya 11, 6 persen dari 550 orang. Di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebesar 21 persen, DPRD Provinsi hanya lima persen dan DPRD Kab/Kota hanya sebesar dua persen.

Di Kalimantan Barat untuk DPRD Provinsi dari 55 orang anggota DPRD hanya empat orang perempuan. Di Kota Singkawang terdapat 4 orang perempuan sebagai anggota DPRD dari 25 orang anggota. Sedangkan di Kota Pontianak tak satupun terdapat perwakilan perempuan dalam jajaran anggota DPRD Kota Pontianak hasil pemilu 2004 silam.

Menjadikan Kota Layak Bagi Anak


Udara tengah hari di Kota Pontianak begitu menyengat. Kota yang terletak di garis Khatulistiwa ini, melengaskan kulit para penghuninya. Panas dan terik. Bayangan seolah tak nampak, bila waktu menunjukkan pukul 12 siang. 

Seperti biasa, hilir mudik kendaraan roda dua dan empat seperti tak ada putusnya di perempatan lampu merah Jalan A. Yani. Mereka saling memacu. Seakan berusaha menghindar dari sengatan matahari yang bersinar terik. 

Pas di perempatan lampu merah, kendaraan mulai berhenti. Seorang bocah bertubuh mungil mulai beraksi. Menadahkan tangan mungilnya yang menjinjing gelas plastik bekas air mineral. 

Namanya, Ian. Badannya ceking. Kulit hitam, karena sering terbakar matahari. Siang itu, dia mengenakan baju kaos putih. Baju itu tampak kumal, karena sering dicuci. Celananya berwarna hitam. Warnanya telah pudar. Ia tak mengenakan alas kaki. 

Bisa dibayangkan. Ditengah terik seperti itu, betapa panas mendera tapak kaki bocah kecil ini. Kaki-kaki itu pun terlihat kumal. Dekil.

Ia harus berada di jalanan tiap hari. Dari pagi hingga menjelang malam. Ia selalu berada di perempatan itu, demi mendapatkan sejumlah recehan dari pengendara yang merasa iba padanya. Itu pun tak semua. Hanya beberapa orang mengulurkan tangan. Memberinya uang pecahan seratus atau dua ratus rupiah.

Bocah kecil berumur enam tahun itu, harus mencari nafkah. Aneh, bocah yang masih kecil itu, harus berjuang mencari sejumput rejeki. Pada mereka yang menaruh iba dan belas kasihan padanya. Apa mau dikata. Nasib baik tak berpihak padanya. 

Orang tua membiarkan dirinya, mencari recehan di jalan. Alasan ekonomi menjadi faktor utama. Padahal, pemerintah selalu memprogramkan tentang pembangunan dan pendidikan. Namun, semua itu seolah hanya berkutat dari program satu ke program lainnya. Tanpa ada solusi langsung dan mengena pada nasib anak-anak seperti Ian.

Ketika ditanya tentang sekolah, dia hanya menggeleng. Matanya menatap kedepan dengan pandangan kosong. “Ndak sekolah, kak. Tak ada duit,” ujarnya lirih, seraya berlari kembali melintas kendaraan roda dua dan empat yang berhenti, kala itu.

Di Pontianak, anak bernasib seperti Ian, cukup banyak. Namun, tentu tak sebanyak di Kota besar. Misalnya, Jakarta. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak pada 2007, terdapat 75.000 anak jalanan di Jakarta. Sisanya tersebar di kota besar lainnya. Seperti, Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar.

Data terakhir dari Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg PP) menyebutkan bahwa 60 persen anak jalanan bersekolah. Sisanya, 40 persen tidak sekolah. 

Data Unicef pada 2007, menyatakan baha 43,24 persen anak Indonesia tinggal di perkotaan dengan pertumbuhan per tahunnya 4,4 persen. Dengan begitu, tentunya perhatian terhadap anak menjadi penting.

Sebuah ironi melihat banyaknya anak berada di perkotaan dan tinggal setiap hari berada di jalanan. Perhatian terhadap anak penting, mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Nasib bangsa kedepan ada di tangan anak-anak bangsa Indonesia ini.

Kepala Bidang Kesejahteraan dan Pemberdayan Perempuan (Kesra PP) Setda Kota Pontianak, Herawati mengatakan, Kota Pontianak terpilih menjadi Kota Layak Anak (KLA) pada 2008. 

“Dari 33 Provinsi di Indonesia Kota Pontianak termasuk dalam 15 Kota yang terpilih sebagai KLA,” katanya.

KLA adalah kota yang dapat menjamin hak setiap anak sebagai warga kota. Anak sebagai warga kota, memiliki kebebasan dalam mengemukakan pendapat, baik secara pribadi maupun terwakilkan. Terkait dengan kebijakan pengembangan kota, fasilitas kota dan pelayanan kota.

Setiap anak dalam KLA mempunyai kesempatan berperan serta dalam kehidupan keluarga, dan komunitas sosial lainnya. Juga, mendapatkan pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. 

Dengan adanya KLA, diharapkan dapat mengembangkan kebijakan tentang lingkungan yang layak bagi anak. Memobilisasi semua mitra kerja potensial di kabupaten/kota, untuk perhatian terhadap anak.

Kota Pontianak menuju KLA, akan disosialisasikan pada, Senin (24/11). Dengan adanya KLA, diharapkan anak-anak jalanan seperti Ian, akan mendapat perhatian intensif dari pemerintah. 

Bagaimanapun, anak adalah generasi penerus yang wajib dilindungi, serta dijaga martabat, kehormatan dan harga dirinya. Baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial dan budaya. Karenanya, selain orang tua, pemerintah juga berkewajiban menjamin dan memberikan perlindungan kepada anak. 

”Orang tua harus memberikan hak kepada anak, agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, serta berprestasi layaknya anak-anak,” kata Herawati.□


Pontianak Menuju Kota Layak Anak

Anak adalah generasi penerus yang wajib dilindungi serta dijaga martabat, kehormatan dan harga dirinya. Baik secara hukum, ekonomi, politik, social dan budaya. Maka dari itu selain orang tua, pemerintah juga berkewajiban menjamin dan memberikan perlindungan kepada anak dan memberikan hak kepada anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang serta berprestasi layaknya anak-anak.

Dengan latar belakang tersebut, Pemerintah Kota Pontianak mencanangkan Kota Pontianak sebagai Kota Layak Anak (KLA). Guna menunjang Pontianak sebagai KLA tersebut maka Pemkot membentuk tim pelaksana pengembangan KLA. Sosialisasi tim pelaksana pengembangan KLA dilaksanakan di Aula Kantor Walikota Pontianak, Selasa (18/11). 
Acara dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Pontianak, Toni Haryanto. Toni menjabarkan tugas tim pelaksana pengembangan KLA yakni mengkoordinasikan kebijakan dan strategi pelaksanaan Kota Layak Anak. “Selain menyusun mekanisme kerja, mensosialisasikan konsep KLA dan menentukan focus utama kegiatan dalam mewujudkan KLA yang sesuai dengan masalah utama, kebutuhan dan sumberdaya,” jelas Toni.
Toni menambahkan tugas yang diemban oleh tim nantinya juga menyiapkan dan mengusulkan perda dan peraturan kerja yang terkait KLA. Serta melakukan kegiatan monitoring atau evaluasi dan pelaporan secara periodeik kepada Walikota, Gubernur dan Menteri Pemberdayaan Perempuan.
“Sedangkan biaya yang timbul sebagai akibat dari terbentuknya tim ini dibebankan pada APBD Kota Pontianak yang dilokasikan pada SKPD yang terkait dalam keanggotaan tim pelaksana pengembangan model KLA,” lanjut Toni.
Adapun kelompok kerja yang termasuk dalam tim ini antara lain kelompok kerja (Pokja) Kesehatan, pendidikan, perlindungan anak, infrastruktur dan lingkungan hidup. Tim ini dibentuk melalui Surat Keputusan Walikota no. 50/2008. 
Adapun susunan tim sebagaimana tercantum dalamSk tersebut yaitu Walikota Pontianak sebagai pengarah, Sekda sebagai penanggung jawab, ketua tim adalah Asisten administrasi dan pembangunan. Wakil ketua kepala Bappeda, sekretaris kepala bagian pemberdayaan perempuan setda kota Pontianak. Sedangkan anggota berasal dari jajaran dinas di seluruh lingkungan Pemkot Pontianak serta seluruh Camat dan Lurah.


Tradisi yang Hampir Hilang


Ia jalankan pekerjaan itu layaknya sebuah ritual. Khusuk dan syahdu. Ia duduk di lantai. Tak dihiraukannya suara gaduh dan atau hilir mudik para pengunjung pameran yang berada di sekeliling. Dia asyik dengan alat tenun yang berada di hadapannya. 

Alat tenun itu terbuat dari bambu. Di antara bambu-bambu itulah, tersusun dan terjalin benang menjadi pilinan. Kemudian merapatkanya dengan bantuan kayu dan bambu.

Setiap kali dia merapatkan jalinan benang, selalu berbunyi. 
“Pletok...tok.” 
Suara kayu dan bambu beradu. Benang menjadi rapat. Satu demi satu untaian benang ia masukkan di antara susunan benang lainnya. Susunan benang terdiri dari ratusan, bahkan mungkin saja ribuan benang. Benang itu telah diberi warna dan corak. Ia harus memasukkan benang mengikuti corak yang bakal dibuat. 

Perempuan itu telah separuh baya, usianya. Umurnya 48 tahun. Ia bekerja dengan tekun. Asyik sekali kelihatannya. Saking asyiknya, tak disadarinya saya yang sedari tadi memerhatikan kelincahan tangannya, menyusun dan merapatkan benang. Tangan itu tak lagi liat. Berkeriput. Namun, jemari itu, tak kalah lincah dengan anak belia, sekalipun. Jemari itu terus bergerak. Membentuk sebuah kain. Kain tenun ikat.

Dia bernama Yuliana. Waktu itu, saya menemuinya di tengah keramaian di sebuah gedung pameran Potensi Wisata, Budaya dan Usaha Kecil Menengah di Pontianak. Dia menempati sebuah stan berukuran 2x2 meter.

Dia mengenakan baju terusan berwarna biru. Sebuah rompi merah dengan hiasan dan ornamen manik motif Dayak melapisi bajunya. Di kepalanya melingkar ikat kepala. Warnanya senada rompi yang dikenakan. Ornamen manik dengan motif khas Dayak. Merah menyala. 

Siang itu, dia asyik berjibaku dengan alat tenunnya. Alat tenun duduk atau gedokan yang terdiri dari beberapa bagian. Ada hat, keletak, beliak dan kelungan. Gedokan bisa dibongkar pasang dan dibawa ke mana-mana. Karenanya, pada pameran seperti ini, Yuliana dapat memamerkan keahliannya menggunakan gedokan.

Yuliana berasal dari Desa Tunang, Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Landak salah satu dari 14 kabupaten/kota di Kalbar. Jaraknya sekira 177 km dari Pontianak, ke arah timur. Ibukota Kabupaten Landak adalah Ngabang. Dulunya, Ngabang hanya sebuah kota kecamatan. Landak merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak pada tahun 2000. 

Pada 2007, penduduk Kabupaten Landak sebanyak 323.076 jiwa. Pekerjaannya beragam. Mulai dari pegawai negeri sipil (PNS) hingga petani. 

Yuliana memilih bekerja sebagai penenun. Profesi langka ditengah arus globalisasi seperti sekarang. Pekerjaan ini ditekuni sejak puluhan tahun silam.

Saat ditanya sejak kapan dia mulai menenun? Perempuan asal Nusa Tenggara Timur ini, melempar pandang. Matanya mulai berkaca, mengingat kenangan 38 tahun silam. Ketika kecil dan berada di tanah kelahirannya, Nusa Tenggara Timur. 

Didekapnya kedua tangannya di pipi yang berwarna hitam itu. Kemudian, dia menarik nafas panjang. Melepaskannya perlahan. Dengan suara parau dan bergetar, ia mulai bercerita, awal mulanya belajar menenun. Seolah menahan keharuan mendalam. 

“Saya belajar dari mama saya,” katanya. 

Pertama kali belajar saat berumur tujuh tahun. Ia sering melihat ibunya menenun di depan rumah. Ketika itu, dia hanya disuruh mengikat motif dan menyusun benang saja. Setiap hari sang ibu mengajarkan, bagaimana menggunakan alat tenun. Tugas itu dijalani hingga umur sepuluh tahun. Setelah berumur 19 tahun, ia sanggup menenun dengan baik. 

Saat bercerita tentang masa lalu, dan mengenang keluarganya, matanya mulai berkaca-kaca. Ada romantisme yang muncul. Kerinduan. 

Yuliana bercerita, kemampuannya menenun dimiliki secara turun temurun. Dari nenek ibunya. Neneknya. Ibunya. Dirinya, saat ini. Ibunya, Fransiska telah meninggal dunia pada 1979. Fransiska mahir membuat kain tenun khas Nusa Tenggara Timur. 

Menurut alfonsadeflores.blogspot.com, di Nusa Tenggara Timur warga memiliki kebiasaan mengunakan kain tenun, untuk aktivitas sehari-hari. Mulai dari selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki, maupun sarung untuk wanita. 

Selimut atau selendang juga dapat digunakan sebagai penutup jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun ikat juga digunakan sebagai perlengkapan upacara adat sebagai pakaian adat, pakaian upacara, dan emas kawin.

Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan mencolok. 

Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Seringkali pencelupan dikerjakan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. 

Sejak tahun 1989, Yuliana hijrah ke Kalimantan Barat. Kedatangannya ke Kalbar sengaja dibawa oleh seorang Pastor, untuk mengajarkan cara menenun kepada masyarakat di pedalaman Kalimantan Barat. Kota pertama yang didiami perempuan beranak dua ini adalah Kota Sintang.

“Tiga orang kami datang dari Nusa Tenggara Timur bersama seorang Pastor,” kata Yuliana. 

Tiga orang itu, dirinya, kakak perempuannya dan seorang teman. Dua tahun mereka tinggal di Sintang bersama Pastor. Mereka mengajar orang di sekitar menenun.

Sejak menikah, Yuliana meninggalkan Pastor. Ia memilih mengikuti suaminya. Menetap di Desa Tunang. Suami Yuliana penduduk Landak berasal dari suku Dayak.  

Di desa tempatnya bernaung ini pula, Yuliana menekuni profesinya sebagai penenun. Pekerjaan itu dilakukannya jika tidak sedang bertani. Jika harus membantu suaminya bertani, dia akan menenun usai pulang dari ladang. 

Yuliana bisa menyelesaikan satu helai tenun dalam waktu satu hingga dua minggu. Dalam satu bulan, dia dapat menyelesaikan empat kain tenun. Biasanya, Yuliana mengerjakan dari pagi hingga sore, setiap harinya.

Setiap helai kain tenun dapat dijual dengan harga Rp 100-850 ribu. 

“Tergantung ukuran dan lamanya pengerjaan. Kalau selendang kecil harganya Rp 100 ribu. Kalau untuk satu stel pakaian bisa mencapai harga Rp 850 ribu,” terangnya.

Biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk membeli benang dan pewarna, sekitar puluhan bahkan ratusan ribu rupiah. Satu kilogram benang polos dibeli seharga Rp 200 ribu per kilogram. Per kilogram dapat dibuat menjadi 4-5 helai kain. Itu belum termasuk pewarna.

Yuliana biasanya menggunakan pewarna kimia dan alami. Harga pewarna kimia yang dijual per bungkus mencapai harga Rp 60 ribu. Untuk mendapatkan kain motif Dayak, dia menggunakan 4-5 pewarna. Semua bahan tersebut harus dibelinya di Pontianak.

Bayangkan berapa besar ongkos yang harus dikeluarkan pengrajin usaha kecil seperti Yuliana?

Namun, jika persediaan pewarna habis, dia akan mencari bahan alami. Bahan diambil dari alam sekitarnya. Untuk warna hitam, dia biasa menggunakan daun Tarum. Warna kuning dari buah Mengkudu. Daun Rambutan, daun Kopi dan segala jenis daun lain dapat digunakan sebagai pewarna alami.

Sebelum ditenun, benang yang telah diikat sebelumnya, dicelupkan ke dalam pewarna. Dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini, lalu ditenun. Sebab itulah, disebut dengan tenun ikat. 

Menurut John Gillow dan Bryan Sentance dalam World Textiles, Thames and Hudson, 1999, tenun ikat adalah sebuah teknik menenun, dimana pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup.
 
Saat ini, Yuliana tak hanya mengerjakan kain tenun ikat dengan motif NTT saja. Sejak bergaul dan belajar dari orang Dayak, serta sering mengikuti pameran, banyak variasi motif yang dapat dibuatnya.

“Motif saya buat sekarang bervariasi. Kebanyakan sekarang buat motif Dayak. Sesekali juga saya buat motif Flores. Tergantung pesanan,” kata Yuliana, sambil memindai benang dan merapatkannya.

Seiring kemajuan zaman, tradisi menenun di kalangan masyarakat, berangsur mulai berkurang. Padahal, keindahan tenunan telah membawa banyak turis mancanegara datang ke Indonesia. Tenun ikat Dayak contohnya, masyarakat mancanegara banyak menggemarinya. 

Tanto Yakobus, jurnalis di Borneo Tribune menulis, belum ada yang mengelola pasar potensial tersebut. Akibatnya, kini keberadaan kain semakin langka. 

Menurutnya, sekarang ini, kain tenun ikat Dayak hanya ditemukan di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu. Padahal, dulunya kain tenun ikat Dayak dikenal masyarakat hampir di seluruh Kalbar.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Alexander Mering dari Borneo Tribune, di Kabupaten Sintang, tenun ikat Dayak Ketungau dan Dayak Desa, hanya tersimpan begitu saja dalam lumbung-lumbung kebudayaan mereka. 

“Bahkan berbagai kisah yang berupa tradisi lisan dan beberapa bentuk ritual yang menyertai kehidupan, serta eksistensi tenun ikat ini, telah banyak yang hilang, punah terkubur bersama rumah betang, sejarah dan waktu,” katanya, dalam penelitian itu.

Pada generasi setelah Rumah Betang, di Kabupaten Sintang, yaitu pada Dayak Ketugau dan Dayak Desa, tenun ikat Dayak semakin tak populer di kalangan gadis-gadis Dayak. Bahkan, sedikit sekali perempuan Dayak, mau menekuni tenun ikat ini. 

Beberapa karya tenun ikat masih dipelihara dan disimpan oleh para keturunan-keturunan mereka. Kebanyakan tak lagi mengerti makna maupun cerita yang tersirat dalam berbagai motif di tenun ikat tersebut. 

Pada mulanya, pembuatan sebuah kain tenun ikat Dayak merupakan suatu rangkaian upacara tersendiri. Tenun ikat dipandang bukan lagi hanya sekedar sebagai sebuah karya semata-mata, tetapi juga sebagai pengkosmos. Sesuatu memiliki roh dan energi hidup. Sakral, mampu memberi tempat bagi pertemuan antara realitas fisik dan metafisik magis. 

Tenun ikat Dayak mengejewantahkan suatu ide hierofani. Percampuran antara keindahan dan kesakralan. Sebagai suatu ekspresi kosmologi manusia Dayak. Di mana tenun ikat itu telah dilahirkan, hadir dan melembaga menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari seluruh fenomena kehidupan manusia Dayak dan semesta raya, tulis penelitian berjudul Tenun Ikat Dayak: Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak (2000).

Yuliana masih asyik mengerjakan tenunannya. Sesekali berhenti jika ada pertanyaan yang saya ajukan, memerlukan dirinya berfikir atau mengingat-ingat. 

“Itu semua hasil karya saya,” kata Yuliana, sambil menunjuk beberapa helai kain tenun motif Dayak dan Flores, terpajang di atas meja display stan pameran.

Dia menuturkan, dulu dia pernah mengajukan proposal pinjaman modal kepada Pemerintah Daerah setempat. Untuk membentuk kelompok tenun. Kelompok itu berjumlah 27 orang, terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri di desanya. Namun, karena modal yang diberikan Pemda hanya Rp 2,5 juta, kelompok tersebut batal dibentuk.

“Kalau cuma Rp 2,5 juta, untuk beli benang saja tidak cukup. Apalagi dipakai untuk mengajarkan 27 orang. Dari pada saya dibilang korupsi, lebih baik uang itu tidak saya terima,” katanya dengan kesal.

Tak mendapatkan pinjaman sesuai dengan kebutuhan kelompok, tak menyurutkan langkahnya. Yuliana berkata pada anggotanya untuk bersabar. Dari kelompok tenun yang akan dibentuk, akhirnya dia membentuk sebuah kelompok tani.

“Saya katakan pada mereka, supaya bersabar. Kalau ada bantuan, saya bisa ajak mereka membentuk kelompok tenun lagi,” kata Yuliana.

Tahun 2005, Yuliana mendapatkan bantuan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pupuk Kaltim Wilayah Kalimantan Barat. Dengan bantuan itu, dia dapat meneruskan usaha tenunnya. 

Kepala Cabang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pupuk Kaltim Wilayah Kalimantan Barat, Syamsuddin Balha mengatakan, sejak 2006-2008, sebanyak 347 UKM telah menjadi mitra binaan PT Pupuk Kaltim.

Ada dua sistem mitra binaan yang ditangani oleh PT Pupuk Kaltim. Melalui rekomendasi bantuan yang ditangani Bank Kalbar, dan melalui pinjaman langsung. ”Berupa bantuan permodalan maupun hibah,” kata Samsuddin, dalam acara Potensi Nusantara Expo di Pontianak.

Ke 347 mitra binaan tersebut mendapatkan bantuan pendanaan langsung. Sedangkan mitra binaan PKBL PT Pupuk Kaltim Wilayah Kalbar dengan sistem rekomendasi, pada Bank Kalbar tercatat 2.024 UKM. 

Menurut Syamsuddin, UKM-UKM tersebut tersebar di 14 kabupaten/kota seluruh Kalimantan Barat. Setiap Usaha Kecil Menengah tersebut, mendapatkan nominal permodalan, baik berupa hibah maupun pinjaman, disesuaikan dengan jenis usahanya. Mulai dari sektor industri rumah tangga, perdagangan, pertanian, perikanan, perkebunan dan koperasi. Besarannya bervariasi dari Rp 10 juta hingga Rp 50 juta per UKM.  

Untuk itu, total dana yang dikeluarkan PKBL PT Pupuk Kaltim wilayah Kalbar bantuan langsung mencapai miliaran rupiah per tahun. Tahun 2007, plavon anggaran untuk bantuan rekomendasi melalui Bank Kalbar, sebesar Rp 16,123 miliar. Sedangkan dana yang digulirkan untuk bantuan permodalan langsung pada 2008, sebesar Rp 4,185 miliar.

“Saya dapat bantuan modal dari Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pupuk Kaltim,” kata Yuliana. Sudah dua kali ia mendapatkannya. Tahun 2005 sebesar Rp 7 juta, dan 2007 sebesar Rp 15 juta.

Dana yang didapat dari bantuan tersebut, dibelikan alat tenun dan bahan tenun. Harga alat tenun dan bahan tenun saja mencapai jutaan rupiah. Dari dana tersebut, dia hanya mampu memberli satu alat tenun dan bahan tenun lainnya.

Walau belum bisa mengajak teman-teman sekitarnya. Namun, dengan bantuan itu, dia dapat meneruskan usaha tenun. Serta sesekali mengajak dan melatih ibu-ibu di sekitarnya menenun.

Setiap bulan, Yuliana mengembalikan uang secara mencicil. Ia harus mengembalikan pinjamannya kepada PKBL PT Pupuk Kaltim. Besarnya mencapai Rp 300 ribu. Yuliana tak keberatan dengan nominal pengembalian tersebut. Menurutnya, hasil menjual kain tenun ikat karyanya, bisa mencapai Rp 1,5–1,6 juta per bulan. 

“Selain untuk membayar pinjaman. Uang hasil penjualan kain juga saya gunakan untuk belanja makan sehari-hari,” kata perempuan yang juga memiliki keterampilan membuat songket ini.

Bagi Yuliana, menenun bukan semata-mata mencari penghasilan. Tapi lebih jauh lagi, melestarikan tradisi dan budaya leluhurnya.

Di kampung, hanya dia saja yang bisa menenun. Untuk itu, mau membentuk kelompok, agar bisa mengajarkan kepada anggota kelompok, cara menenun. Dia tidak mau kalau mati kelak, tidak ada lagi yang bisa meneruskan tradisi menenun.

Untuk itu, dia berharap pemerintah memerhatikan keberlangsungan usahanya. Dia ingin pemerintah memberikan pinjaman atau hibah modal, agar dia dapat memberi latihan menenun, bagi orang di sekitarnya. “Saya minta tolong sama pemerintah, untuk membantu sepenuh hati. Agar tradisi ini tidak hilang,” kata Yuliana dengan polos.

Harapan Yuliana, mungkin juga jadi harapan orang berprofesi sama dengannya. Orang-orang yang ingin melestarikan tradisi dan budayanya. Namun, karena keterbatasan pendanaan, akhirnya tradisi itu tinggal harapan yang lambat laun ditelan kemajuan dan arus zaman. Hilang bersama berlalunya waktu dan tinggal menjadi sejarah. Sejarah tenun ikat yang hilang.

Yuliana hanya berusaha menenun untai demi untai benang-benang tradisi yang semakin hari semakin ditelan waktu. Dengan tenunnya pula kelak, anak cucu bangsa ini akan tahu bahwa budaya dan tradisi nenek moyang mereka, begitu indah. Dalam sketsa kain tenun ikatnya. Yang bersahaja.□