Glitter Photos

Sabtu, 13 Desember 2008

Patung; Antara Tradisi dan Karya Seni

Pernah berkunjung ke Rumah Betang, rumah adat Dayak terletak di Jalan Sutoyo Pontianak? Jika belum anda wajib mengunjunginya. Karena di sana anda akan menjumpai arsitektur, ornament, lukisan serta hasil karya seni lainnya, luar biasa indah.

Jika sudah, apakah anda pernah melihat pojok kanan depan rumah adat tersebut berdiri tegak sebuah patung manusia. Dinaungi pendopo kecil berukuran 1,5 m x 1,5 m. Ukurannya kurang lebih 50-75 cm. terbuat dari kayu, berbentuk manusia membawa tombak dan tameng, juga terbuat dari kayu.

Walau berukuran kecil, patung itu menunjukkan seorang laki-laki gagah perkasa. Mirip seorang kesatria. Patung tersebut asli karya perupa Kalimantan Barat. Patung serupa itu dalam bahasa Dayak Kanayatn disebut pantak.

Seorang perupa patung di rumah adat Dayak, Mat Darem mengatakan pantak merupakan istilah dari bahasa Dayak kanayatn. Pantak dibuat untuk mengenang tokoh, orang yang memiliki gelar atau pangkat serta orang yang berpengaruh di lingkungan masyarakat tersebut.

“Orang biasa tidak bisa dibuatkan pantak,” kata Darem, lelaki berasal dari Dayak Kanayatn ini.
Dalam tradisi Dayak Kanayatn mengenal dua istilah patung, pantak dan ampago’. Pantak bentuk patungnya berdiri, sedangkan ampago’ patung berbentuk manusia dengan posisi duduk.
Masyarakat Dayak tempo dulu memiliki kebiasaan dan tradisi untuk mengenang tokoh yang sudah meninggal dengan membuat pantak. Pantak adalah patung kayu berbentuk manusia, wajahnya mirip dengan wajah tokoh dimaksud dengan posisi berdiri.

Pantak diletakkan pada tempat tertentu yang disebut dengan panyugu, padagi atau kadiaman. Walau dalam menentukan tempat peletakan pantak ini bebas, namun biasanya masyarakat Dayak Kanayatn menentukannya dengan menggunakan perasaan.

“Kalau perasaan di tempat itu enak atau baik, maka pantak diletakkan di situ,” ujar Darem, yang telah menekuni seni patung sejak tahun 1989.

Menurut Darem pantak dibuat hanya untuk mengenang tokoh atau orang yang memiliki pengaruh disuatu daerah. Agar jasa dan ketokohannya dapat ditiru masyarakat. Pantak ini juga dapat dijadikan jembatan menyampaikan doa dan harapan kepada sang pencipta.

“Tapi bukan berarti kita menganggap itu sebagai Tuhan. Hanya sebagai pentara harapan dan doa yang kita sampaikan kepada sang pencipta,” Darem mencoba menegaskan.

Sedangkan ampago’ adalah patung menyerupai manusia dengan posisi duduk. Patung ini bukan penggambaran tokoh atau orang terkemuka di suatu kampung/desa. Bukan juga patung pemujaan. Namun dipercayai dapat menjaga masyarakat dari gangguan kejahatan.

Lokasi peletakan ampago’ di batas kampung atau pada ujung jalan desa. Atau bagi yang mempercayainya diletakkan di dalam rumah dan lumbung padi. Tempat meletakkan ampago’ disebut pantulak. Artinya menolak niat jahat atau roh jahat.

Dengan meletakkan ampago’, masyarakat adat kanayatn mempercayai dapat mengusir atau menolak orang berniat jahat ataupun roh-roh jahat yang akan mengancam kampung. Meletakkannya pun harus dengan ritual khusus.

Menurut Darem orang dahulu yang mempercayai kekuatan ampago’ biasa meletakkannya di depan pintu rumah. Biasanya jika sudah ada ampago’ mereka meninggalkan rumah tanpa menguncinya.

“Karena mempercayai ampago’ dapat menolak segala kejahatan. Itu orang dulu sekarang tidak lagi,” ungkap Darem.

Untuk membuat kedua patung tersebut Darem tak menggunakan ritual khusus. Hanya mengandalkan kemampuannya yang dipelajari turun temurun dari sang ayah.

“Namun yang harus dimiliki adalah kesabaran dan rasa seni,” ucapnya.

Seiring waktu patung ini mulai sulit dijumpai. Terlebih masyarakat mulai meninggalkan tradisi dan budaya leluhurnya. Bahkan, Darem hanya sesekali menerima pesanan pembuatan pantak dan ampago’.

Pasar sekarang condong menggemari patung-patung dari Dayak Bahau, ketimbang patung dari Dayak Kanayant. Menurut Darem, patung Dayak Bahau digemari karena keunikannya. Bentuknya abstrak, ornament detil terlihat pada kaki dan telinga. Sedangkan patung Dayak Kanayatn berbentuk asli atau realis.

“Bentuknya yang unik membuat pasar lebih menginginkan patung-patung Dayak Bahau,” terangnya.

Membuat patung Dayak Bahau, Darem menirunya dari catalog. Diminta menjelaskan makna filosofis dari patung yang dibuatnya, Darem tak berani. Karena menurutnya, budaya atau tradisi harus pasti. Tak boleh dikarang-karang.

“Kalau patung Dayak Kanayatn saya bisa jelaskan, karena saya berasal dari Dayak Kanayatn. Saya bisa mempertanggungjawabkan apa yang saya sampaikan. Tapi kalau patung Dayak Bahau, saya tak berani,” kata Darem.

Terlepas dari apa yang melatar belakangi pembuatannya dan siapa membuatnya. Namun yang pasti patung adalah sebuah hasil karya seni, memiliki estetika tinggi. Dapat dinikmati siapa saja, yang menghargai sebuah usaha dan mencintai cipta karya penuh keindahan.

Tidak ada komentar: