Glitter Photos

Minggu, 07 Desember 2008

Tradisi yang Hampir Hilang


Ia jalankan pekerjaan itu layaknya sebuah ritual. Khusuk dan syahdu. Ia duduk di lantai. Tak dihiraukannya suara gaduh dan atau hilir mudik para pengunjung pameran yang berada di sekeliling. Dia asyik dengan alat tenun yang berada di hadapannya. 

Alat tenun itu terbuat dari bambu. Di antara bambu-bambu itulah, tersusun dan terjalin benang menjadi pilinan. Kemudian merapatkanya dengan bantuan kayu dan bambu.

Setiap kali dia merapatkan jalinan benang, selalu berbunyi. 
“Pletok...tok.” 
Suara kayu dan bambu beradu. Benang menjadi rapat. Satu demi satu untaian benang ia masukkan di antara susunan benang lainnya. Susunan benang terdiri dari ratusan, bahkan mungkin saja ribuan benang. Benang itu telah diberi warna dan corak. Ia harus memasukkan benang mengikuti corak yang bakal dibuat. 

Perempuan itu telah separuh baya, usianya. Umurnya 48 tahun. Ia bekerja dengan tekun. Asyik sekali kelihatannya. Saking asyiknya, tak disadarinya saya yang sedari tadi memerhatikan kelincahan tangannya, menyusun dan merapatkan benang. Tangan itu tak lagi liat. Berkeriput. Namun, jemari itu, tak kalah lincah dengan anak belia, sekalipun. Jemari itu terus bergerak. Membentuk sebuah kain. Kain tenun ikat.

Dia bernama Yuliana. Waktu itu, saya menemuinya di tengah keramaian di sebuah gedung pameran Potensi Wisata, Budaya dan Usaha Kecil Menengah di Pontianak. Dia menempati sebuah stan berukuran 2x2 meter.

Dia mengenakan baju terusan berwarna biru. Sebuah rompi merah dengan hiasan dan ornamen manik motif Dayak melapisi bajunya. Di kepalanya melingkar ikat kepala. Warnanya senada rompi yang dikenakan. Ornamen manik dengan motif khas Dayak. Merah menyala. 

Siang itu, dia asyik berjibaku dengan alat tenunnya. Alat tenun duduk atau gedokan yang terdiri dari beberapa bagian. Ada hat, keletak, beliak dan kelungan. Gedokan bisa dibongkar pasang dan dibawa ke mana-mana. Karenanya, pada pameran seperti ini, Yuliana dapat memamerkan keahliannya menggunakan gedokan.

Yuliana berasal dari Desa Tunang, Kecamatan Mempawah Hulu, Kabupaten Landak. Landak salah satu dari 14 kabupaten/kota di Kalbar. Jaraknya sekira 177 km dari Pontianak, ke arah timur. Ibukota Kabupaten Landak adalah Ngabang. Dulunya, Ngabang hanya sebuah kota kecamatan. Landak merupakan pemekaran dari Kabupaten Pontianak pada tahun 2000. 

Pada 2007, penduduk Kabupaten Landak sebanyak 323.076 jiwa. Pekerjaannya beragam. Mulai dari pegawai negeri sipil (PNS) hingga petani. 

Yuliana memilih bekerja sebagai penenun. Profesi langka ditengah arus globalisasi seperti sekarang. Pekerjaan ini ditekuni sejak puluhan tahun silam.

Saat ditanya sejak kapan dia mulai menenun? Perempuan asal Nusa Tenggara Timur ini, melempar pandang. Matanya mulai berkaca, mengingat kenangan 38 tahun silam. Ketika kecil dan berada di tanah kelahirannya, Nusa Tenggara Timur. 

Didekapnya kedua tangannya di pipi yang berwarna hitam itu. Kemudian, dia menarik nafas panjang. Melepaskannya perlahan. Dengan suara parau dan bergetar, ia mulai bercerita, awal mulanya belajar menenun. Seolah menahan keharuan mendalam. 

“Saya belajar dari mama saya,” katanya. 

Pertama kali belajar saat berumur tujuh tahun. Ia sering melihat ibunya menenun di depan rumah. Ketika itu, dia hanya disuruh mengikat motif dan menyusun benang saja. Setiap hari sang ibu mengajarkan, bagaimana menggunakan alat tenun. Tugas itu dijalani hingga umur sepuluh tahun. Setelah berumur 19 tahun, ia sanggup menenun dengan baik. 

Saat bercerita tentang masa lalu, dan mengenang keluarganya, matanya mulai berkaca-kaca. Ada romantisme yang muncul. Kerinduan. 

Yuliana bercerita, kemampuannya menenun dimiliki secara turun temurun. Dari nenek ibunya. Neneknya. Ibunya. Dirinya, saat ini. Ibunya, Fransiska telah meninggal dunia pada 1979. Fransiska mahir membuat kain tenun khas Nusa Tenggara Timur. 

Menurut alfonsadeflores.blogspot.com, di Nusa Tenggara Timur warga memiliki kebiasaan mengunakan kain tenun, untuk aktivitas sehari-hari. Mulai dari selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki, maupun sarung untuk wanita. 

Selimut atau selendang juga dapat digunakan sebagai penutup jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun ikat juga digunakan sebagai perlengkapan upacara adat sebagai pakaian adat, pakaian upacara, dan emas kawin.

Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup warna biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan mencolok. 

Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama berminggu-minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Seringkali pencelupan dikerjakan satu-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. 

Sejak tahun 1989, Yuliana hijrah ke Kalimantan Barat. Kedatangannya ke Kalbar sengaja dibawa oleh seorang Pastor, untuk mengajarkan cara menenun kepada masyarakat di pedalaman Kalimantan Barat. Kota pertama yang didiami perempuan beranak dua ini adalah Kota Sintang.

“Tiga orang kami datang dari Nusa Tenggara Timur bersama seorang Pastor,” kata Yuliana. 

Tiga orang itu, dirinya, kakak perempuannya dan seorang teman. Dua tahun mereka tinggal di Sintang bersama Pastor. Mereka mengajar orang di sekitar menenun.

Sejak menikah, Yuliana meninggalkan Pastor. Ia memilih mengikuti suaminya. Menetap di Desa Tunang. Suami Yuliana penduduk Landak berasal dari suku Dayak.  

Di desa tempatnya bernaung ini pula, Yuliana menekuni profesinya sebagai penenun. Pekerjaan itu dilakukannya jika tidak sedang bertani. Jika harus membantu suaminya bertani, dia akan menenun usai pulang dari ladang. 

Yuliana bisa menyelesaikan satu helai tenun dalam waktu satu hingga dua minggu. Dalam satu bulan, dia dapat menyelesaikan empat kain tenun. Biasanya, Yuliana mengerjakan dari pagi hingga sore, setiap harinya.

Setiap helai kain tenun dapat dijual dengan harga Rp 100-850 ribu. 

“Tergantung ukuran dan lamanya pengerjaan. Kalau selendang kecil harganya Rp 100 ribu. Kalau untuk satu stel pakaian bisa mencapai harga Rp 850 ribu,” terangnya.

Biaya produksi yang harus dikeluarkan untuk membeli benang dan pewarna, sekitar puluhan bahkan ratusan ribu rupiah. Satu kilogram benang polos dibeli seharga Rp 200 ribu per kilogram. Per kilogram dapat dibuat menjadi 4-5 helai kain. Itu belum termasuk pewarna.

Yuliana biasanya menggunakan pewarna kimia dan alami. Harga pewarna kimia yang dijual per bungkus mencapai harga Rp 60 ribu. Untuk mendapatkan kain motif Dayak, dia menggunakan 4-5 pewarna. Semua bahan tersebut harus dibelinya di Pontianak.

Bayangkan berapa besar ongkos yang harus dikeluarkan pengrajin usaha kecil seperti Yuliana?

Namun, jika persediaan pewarna habis, dia akan mencari bahan alami. Bahan diambil dari alam sekitarnya. Untuk warna hitam, dia biasa menggunakan daun Tarum. Warna kuning dari buah Mengkudu. Daun Rambutan, daun Kopi dan segala jenis daun lain dapat digunakan sebagai pewarna alami.

Sebelum ditenun, benang yang telah diikat sebelumnya, dicelupkan ke dalam pewarna. Dicelup berkali kali untuk memperoleh pola yang diinginkan. Benang yang telah berpola ini, lalu ditenun. Sebab itulah, disebut dengan tenun ikat. 

Menurut John Gillow dan Bryan Sentance dalam World Textiles, Thames and Hudson, 1999, tenun ikat adalah sebuah teknik menenun, dimana pola kain dibuat dengan mengikat benang dengan benang penahan celup.
 
Saat ini, Yuliana tak hanya mengerjakan kain tenun ikat dengan motif NTT saja. Sejak bergaul dan belajar dari orang Dayak, serta sering mengikuti pameran, banyak variasi motif yang dapat dibuatnya.

“Motif saya buat sekarang bervariasi. Kebanyakan sekarang buat motif Dayak. Sesekali juga saya buat motif Flores. Tergantung pesanan,” kata Yuliana, sambil memindai benang dan merapatkannya.

Seiring kemajuan zaman, tradisi menenun di kalangan masyarakat, berangsur mulai berkurang. Padahal, keindahan tenunan telah membawa banyak turis mancanegara datang ke Indonesia. Tenun ikat Dayak contohnya, masyarakat mancanegara banyak menggemarinya. 

Tanto Yakobus, jurnalis di Borneo Tribune menulis, belum ada yang mengelola pasar potensial tersebut. Akibatnya, kini keberadaan kain semakin langka. 

Menurutnya, sekarang ini, kain tenun ikat Dayak hanya ditemukan di Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu. Padahal, dulunya kain tenun ikat Dayak dikenal masyarakat hampir di seluruh Kalbar.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan Alexander Mering dari Borneo Tribune, di Kabupaten Sintang, tenun ikat Dayak Ketungau dan Dayak Desa, hanya tersimpan begitu saja dalam lumbung-lumbung kebudayaan mereka. 

“Bahkan berbagai kisah yang berupa tradisi lisan dan beberapa bentuk ritual yang menyertai kehidupan, serta eksistensi tenun ikat ini, telah banyak yang hilang, punah terkubur bersama rumah betang, sejarah dan waktu,” katanya, dalam penelitian itu.

Pada generasi setelah Rumah Betang, di Kabupaten Sintang, yaitu pada Dayak Ketugau dan Dayak Desa, tenun ikat Dayak semakin tak populer di kalangan gadis-gadis Dayak. Bahkan, sedikit sekali perempuan Dayak, mau menekuni tenun ikat ini. 

Beberapa karya tenun ikat masih dipelihara dan disimpan oleh para keturunan-keturunan mereka. Kebanyakan tak lagi mengerti makna maupun cerita yang tersirat dalam berbagai motif di tenun ikat tersebut. 

Pada mulanya, pembuatan sebuah kain tenun ikat Dayak merupakan suatu rangkaian upacara tersendiri. Tenun ikat dipandang bukan lagi hanya sekedar sebagai sebuah karya semata-mata, tetapi juga sebagai pengkosmos. Sesuatu memiliki roh dan energi hidup. Sakral, mampu memberi tempat bagi pertemuan antara realitas fisik dan metafisik magis. 

Tenun ikat Dayak mengejewantahkan suatu ide hierofani. Percampuran antara keindahan dan kesakralan. Sebagai suatu ekspresi kosmologi manusia Dayak. Di mana tenun ikat itu telah dilahirkan, hadir dan melembaga menjadi suatu bagian tak terpisahkan dari seluruh fenomena kehidupan manusia Dayak dan semesta raya, tulis penelitian berjudul Tenun Ikat Dayak: Ekspresi Kosmologi Manusia Dayak (2000).

Yuliana masih asyik mengerjakan tenunannya. Sesekali berhenti jika ada pertanyaan yang saya ajukan, memerlukan dirinya berfikir atau mengingat-ingat. 

“Itu semua hasil karya saya,” kata Yuliana, sambil menunjuk beberapa helai kain tenun motif Dayak dan Flores, terpajang di atas meja display stan pameran.

Dia menuturkan, dulu dia pernah mengajukan proposal pinjaman modal kepada Pemerintah Daerah setempat. Untuk membentuk kelompok tenun. Kelompok itu berjumlah 27 orang, terdiri dari ibu-ibu dan remaja putri di desanya. Namun, karena modal yang diberikan Pemda hanya Rp 2,5 juta, kelompok tersebut batal dibentuk.

“Kalau cuma Rp 2,5 juta, untuk beli benang saja tidak cukup. Apalagi dipakai untuk mengajarkan 27 orang. Dari pada saya dibilang korupsi, lebih baik uang itu tidak saya terima,” katanya dengan kesal.

Tak mendapatkan pinjaman sesuai dengan kebutuhan kelompok, tak menyurutkan langkahnya. Yuliana berkata pada anggotanya untuk bersabar. Dari kelompok tenun yang akan dibentuk, akhirnya dia membentuk sebuah kelompok tani.

“Saya katakan pada mereka, supaya bersabar. Kalau ada bantuan, saya bisa ajak mereka membentuk kelompok tenun lagi,” kata Yuliana.

Tahun 2005, Yuliana mendapatkan bantuan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pupuk Kaltim Wilayah Kalimantan Barat. Dengan bantuan itu, dia dapat meneruskan usaha tenunnya. 

Kepala Cabang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pupuk Kaltim Wilayah Kalimantan Barat, Syamsuddin Balha mengatakan, sejak 2006-2008, sebanyak 347 UKM telah menjadi mitra binaan PT Pupuk Kaltim.

Ada dua sistem mitra binaan yang ditangani oleh PT Pupuk Kaltim. Melalui rekomendasi bantuan yang ditangani Bank Kalbar, dan melalui pinjaman langsung. ”Berupa bantuan permodalan maupun hibah,” kata Samsuddin, dalam acara Potensi Nusantara Expo di Pontianak.

Ke 347 mitra binaan tersebut mendapatkan bantuan pendanaan langsung. Sedangkan mitra binaan PKBL PT Pupuk Kaltim Wilayah Kalbar dengan sistem rekomendasi, pada Bank Kalbar tercatat 2.024 UKM. 

Menurut Syamsuddin, UKM-UKM tersebut tersebar di 14 kabupaten/kota seluruh Kalimantan Barat. Setiap Usaha Kecil Menengah tersebut, mendapatkan nominal permodalan, baik berupa hibah maupun pinjaman, disesuaikan dengan jenis usahanya. Mulai dari sektor industri rumah tangga, perdagangan, pertanian, perikanan, perkebunan dan koperasi. Besarannya bervariasi dari Rp 10 juta hingga Rp 50 juta per UKM.  

Untuk itu, total dana yang dikeluarkan PKBL PT Pupuk Kaltim wilayah Kalbar bantuan langsung mencapai miliaran rupiah per tahun. Tahun 2007, plavon anggaran untuk bantuan rekomendasi melalui Bank Kalbar, sebesar Rp 16,123 miliar. Sedangkan dana yang digulirkan untuk bantuan permodalan langsung pada 2008, sebesar Rp 4,185 miliar.

“Saya dapat bantuan modal dari Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) PT. Pupuk Kaltim,” kata Yuliana. Sudah dua kali ia mendapatkannya. Tahun 2005 sebesar Rp 7 juta, dan 2007 sebesar Rp 15 juta.

Dana yang didapat dari bantuan tersebut, dibelikan alat tenun dan bahan tenun. Harga alat tenun dan bahan tenun saja mencapai jutaan rupiah. Dari dana tersebut, dia hanya mampu memberli satu alat tenun dan bahan tenun lainnya.

Walau belum bisa mengajak teman-teman sekitarnya. Namun, dengan bantuan itu, dia dapat meneruskan usaha tenun. Serta sesekali mengajak dan melatih ibu-ibu di sekitarnya menenun.

Setiap bulan, Yuliana mengembalikan uang secara mencicil. Ia harus mengembalikan pinjamannya kepada PKBL PT Pupuk Kaltim. Besarnya mencapai Rp 300 ribu. Yuliana tak keberatan dengan nominal pengembalian tersebut. Menurutnya, hasil menjual kain tenun ikat karyanya, bisa mencapai Rp 1,5–1,6 juta per bulan. 

“Selain untuk membayar pinjaman. Uang hasil penjualan kain juga saya gunakan untuk belanja makan sehari-hari,” kata perempuan yang juga memiliki keterampilan membuat songket ini.

Bagi Yuliana, menenun bukan semata-mata mencari penghasilan. Tapi lebih jauh lagi, melestarikan tradisi dan budaya leluhurnya.

Di kampung, hanya dia saja yang bisa menenun. Untuk itu, mau membentuk kelompok, agar bisa mengajarkan kepada anggota kelompok, cara menenun. Dia tidak mau kalau mati kelak, tidak ada lagi yang bisa meneruskan tradisi menenun.

Untuk itu, dia berharap pemerintah memerhatikan keberlangsungan usahanya. Dia ingin pemerintah memberikan pinjaman atau hibah modal, agar dia dapat memberi latihan menenun, bagi orang di sekitarnya. “Saya minta tolong sama pemerintah, untuk membantu sepenuh hati. Agar tradisi ini tidak hilang,” kata Yuliana dengan polos.

Harapan Yuliana, mungkin juga jadi harapan orang berprofesi sama dengannya. Orang-orang yang ingin melestarikan tradisi dan budayanya. Namun, karena keterbatasan pendanaan, akhirnya tradisi itu tinggal harapan yang lambat laun ditelan kemajuan dan arus zaman. Hilang bersama berlalunya waktu dan tinggal menjadi sejarah. Sejarah tenun ikat yang hilang.

Yuliana hanya berusaha menenun untai demi untai benang-benang tradisi yang semakin hari semakin ditelan waktu. Dengan tenunnya pula kelak, anak cucu bangsa ini akan tahu bahwa budaya dan tradisi nenek moyang mereka, begitu indah. Dalam sketsa kain tenun ikatnya. Yang bersahaja.□


Tidak ada komentar: